Kamis, 07 Juli 2011

PTM Abdya Tampung 470 Mahasiswa Baru

Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Aceh Barat Daya (Abdya) kini menampung sebanyak 470 mahasiswa baru. Mereka mengikuti kuliah di dua sekolah tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) sebanyak 110 orang dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) berjumlah 360 orang.

Koordinator PTM Abdya, Drs H Ridwan Adamy MM dihubungi Serambi Jumat (6/8) menjelaskan, mahasiswa baru yang lulus seleksi tersebut bukan saja berasal di Kabupaten Abdya, melainkan dari Aceh Selatan, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat, bahkan dari Gayo Lues. “Artinya, PTM sudah menjadi milik semua daerah wilayah barat selatan Aceh,” katanya.  Mahasiswa baru STIT Muhammadiyah yang lulus seleksi tahun 2010 sebanyak 360 orang, terdiri jurusan Bahasa Inggris 200 orang dari 248 orang yang mendaftar dan jurusan Matematika 160 dari 198 yang mendaftar. Mahasiswa baru STKIP Muhammadiyah yang lulus seleksi 110 dari 123 yang mendaftar.

Lebih lanjut dijelaskan, PTM Abdya memiliki dua sekolah tinggi, STIT Muhammadiyah berdiri sesuai SK Departemen Agama Nomor DJ.I/177/2007 tanggal 20 April 2007 dan STKIP Muhammadiyah beroperasi berdasarkan SK Mendiknas Nomor 06/0/2009 tanggal 2 Juni 2009.     

Sedangkan mahasiswa lama untuk STIT tercatat 740 orang sehingga jumlahnya telah mencapai 850 orang. Sementara mahasiswa lama STKIP tercatat 520 orang sehingga seluruhnya berjumlah 880 orang. “Jadi total mahasiswa PTM Abdya mencapai 1.730 orang,” kata mantan Kadispora Abdya ini.

 dokumentasi tes calon mahasiswa baru di PTM Abdya

dokumentasi : calon mahasiswa baru mengikuti tes di kampus STKIP ABDYA

STKIP Muhammadiyah Abdya

Perhatian pemerintah terhadap Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Aceh Barat Daya (Abdya) dinilai masih minim. Padahal lembaga pendidikan tersebut merupakan perguruan tinggi pertama di Kabupaten Abdya.

“Kita seperti dianaktirikan oleh pemerintah daerah, bahkan minim sekali bantuan maupun dukungan terhadap kampus yang saat ini telah menjadi bahagian dari pencerdasan bagi anak-anak di negeri ini,” kata Afdal Jihad SAg,  Ketua Panitia Milad ke-2 STKIP Muhammadiyah Abdya, dalam laporannya pada acara yang berlangsung di Aula Arena Motel, Blangpidie.
Meski begitu, tambah Afdal, STKIP tetap mandiri dan mampu menjalankan semua aktifitas akademik, bahkan ditargetkan bisa bersaing dengan perguruan tinggi lainnya yang berskala nasional.

“Kita harus berlapang dada atas sikap pemerintah yang seperti ini, walaupun sebenarnya saat ini STKIP Muhammadiyah Abdya menjadi lembaga perguruan tinggi pertama di daereh ini sebelum pemkab Abdya membangun lembaga yang serupa,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammdiyah (PDM) Abdya, Drs Ramli Bahar, dalam sambutannya juga menyatakan Pemkab Abdya terkesan tidak peduli pada STKIP Muhammadiyah Abdya. Hal itu terlihat dari ketidakhadiran Pemkab Abdya pada acara milad tersebut.

“Mungkin para pejabat di daerah saat ini sedang sangat sibuk, kita musti maklumi, sehingga untuk mengirimkan utusan maupun wakil ke acara hari ini tidak bisa hadir. Sikap seperti itu tentu sangat kita sayangkan, karena STKIP Muhammadiyah Abdya memiliki peranan yang sangat strategis di daerah berupa peningkatan sumberdaya manusia,” kata Ramli Bahar.

Ramli Bahar yang juga Ketua Umum PGRI Abdya itu mengharapkan supaya Pemkab Abdya melihat keberadaan organisasi Muhammdiyah itu sebagai partner (mitra) dalam rangka membangun daerah, serta merubah pola pikir yang bersifat politis, karena keberadaan organisasi Muhammdiyah adalah organisasi non politik yang bersifat Amar Ma’ruh Nahi mungkar.

Ia mengatakan, ada opini seolah-olah Muhammadiyah terlibat dalam aktifitas politik yang menetang pemerintah atau Bupati. “Opini tersebut tentu saja salah, karena Muhammdiyah adalah organisasi independen yang memegang teguh prinsip Amar Ma’ruh Nahi Mungkar,” tukas Ramli Bahar.

Ketua STKIP Muhammdiyah Abdya Drs H Ridwan Adami MM dalam orasi ilmiahnya di acara milad itu juga menyinggung kondisi dunia pendidikan di Abdya saat ini yang dinilai mengalami permasalahan serius. Di antaranya, mekanisme perekrutan kepala sekolah dinilai telah terkontaminasi dengan kepentingan pihak tertentu serta lebih bernuansa politis.

Menurut Ridwan Adami, kondisi tersebut dapat membuat dunia pendidikan menjadi alat kekuasaan yang dapat berdampak terhadap turunnya motivasi para guru, serta meruntuhkan prestasi akademik dari para pendidik karena tidak fairnya sistem rekrutmen calon kepala sekolah.

Terhadap kondisi tersebut, Ridwan Adami yang pernah menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Selatan itu memberi alternatif solusi, yakni dengan melibatkan peran semua pihak dalam memajukan pendidikan.

“Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataannya banyak kendala yang terjadi akibat perilaku budaya koruptif serta tekanan-tekanan politik akibat kemampuan aparatur pemerintah yang masih sangat rendah. Sehingga terhadap kondisi tersebut jelas semestinya pemerintah melibatkan peran semua pihak dalam rangka memajukan daerah khususnya pendidikan,” pungkas Drs H Ridwan Adami MM.